Senin, 04 Agustus 2008

KOMUNIKASI KONTENPORER

BIAS GENDER DALAM IKLAN MEDIA CETAK MAUPUN ELEKRONIK

KEY WORDS : GENDER DAN IKLAN

A. Pendahuluan

Wacana mengenai gender memang bukan menjadi wacana umum dalam masyarakat. Bahasan ini hanya menjadi kajian kaum intelektual-intelektual maupun kriktikus dari ilmuwan social baik sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi, dan beberapa cabang ilmu social lainnya. Pengungkapan masalah perempuan dengan menggunakan prespektif gender sering mengalami polemic pro dan kontra tidak hanya oleh laki-laki saja tetapi oleh kaum perempuan juga. Banyak pihak menyatakan bahwa persoalan kesetaraan gender menyudutkan kaum laki-laki.

Beberapa pendapat masyarakat menyatakan bahwa hal ini merupakan serangan dan penjajahan atas peran dan kedudukan laki-laki yang selama ini selalu kuat. Padahal pemahaman wacana gender bukan sesempit itu. Kesetaraan gender memiliki dafenisi yang jamak, tergantung setiap individu yang memaknainya sesuai tujuan dan kasusnya. Kesetaraan bukanlah menggambil posisi suami sebagai kepala rumah tangga, kesetaraan juga bukan memposisikan perempuan berada diatas laki-laki. Kesetaran bukan berarti pengalihan peran pria oleh wanita, tetapi kesetaran gender mengupas hak perempuan sebagai manusia yang sederajat dengan laki-laki.

Gender adalah buatan manusia. Maka gender adalah penyimpangan dari kodrat. Gender pada umumnya selalu memaksa apa yang bukan menjadi kodrat menjadi kodrat. Pada masyarakat patriarkhi manusia memperlakukan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Pengertian dari gender sendiri adalah pengkotakan peran yang dilakukan oleh suatu masyarakat terhadap kelompok laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang hang diharuskan oleh masyarakat tersebut. Karena itu pemahaman tentang gender dalam masyarakat antar satu generasi kegenerasi yang lain dalam masyarakat yang sama bisa jadi berbeda. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak menjadi perdebatan dalam masyarakat, meninbulkan ketidakadilan, kekerasan dan penindasan.

Namun dalam sejarah justru perbedaan gender ini justru menjadi pangkal dari ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, kekerasan pada kelompok perempuan. Kekerasan gender terus terjadi sampai saat ini, media bahkan salah satu yang melanggengkan kekerasan gender, walaupun saat ini kekerasan tidak terjadi langsung secara fisik tetapi biasa pemberitaan media ini dapat secara langsung menjadi pangkal dari ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi kepada pihak perempuan.

Menurut Wood (2005), menyebutkan bahwa melalui pemberitaan media membangun stereotip dan labeling pada peran laki-laki dan perempuan baik dalam bentuk iklan layanan masyarakat, film, ataupun sinetron yang ditayangin televisi. Media cendrung mempublikasikan laki-laki sebagai manusia yang kuat, tegar, perkasa, penuh percaya diri, agresif, berkuasa, pemberani, tangguh, bila laki-laki berprilaku feminisme dianggap melanggar kodratnya. sementara perempuan cendrung digambarkan sebagai sosok yang seksi, genit, penggoda, lemah lembut, pemuas nafsu pria dan tugasnya melayani pria, perempuan dilarang untuk berprilaku agresif karena itu melanggar kodratnya.

Gender sesungguhnya adalah pembiasan kodrat laki-laki dan perempuan. Pemahaman tentang gender dinegara kita masih bersifat patriarkhi dimana pihak perempuan sangat dirugikan. Masyarakat kita sudah membedakan perempuan dan laki-laki sejak lahir. Perempuan dituntut lemah lembut dan gemulai, sehingga kita menganggap bahwa perempuan yang tidak lemah lembut dan gemulai melawan kodratnya sebagai perempuan. Pendapat inilah yang membuat kita sadar bahwa gender itu adalah kodrat. Padahal gender bukanlah kodrat. Gender berlawanan dengan kodrat.

Realitas media di Indonesia menunjukan adanya bias gender.dalam pemberitaan perempuan dalam media baik cetak maupun elektronik.berbagai bentuk ketidak adilan gender seperti label negative, beban kerja, marjinalisasi. Tanpa disadari perempuan kita cendrung dijadikan obyek oleh medianya sendiri. Media mengirim perempuan menjadi sasaran kaum kapitalis. Pemasaran perempuan merupakan potensi kekerasan dan sosialisasi keyakinan gender.

Sebagai contoh, media secara langsung telah memberi label negatif pada perempuan hitam, pendek dan berambut keriting. Perempuan seperti itu “layak” disebut sebagai perempuan jelek. Perempuan cantik adalah perempuan berkulit putih, tinggi, langsing, berambut lurus. Demi mendapatkan label cantik, perempuan berlomba-lomba menggunakan berbagai macam produk kecantikan agar kulitnya putih. Perempuan juga diwajibkan mengonsumsi pil/tablet agar senantiasa langsing. Jika setelah melahirkan dan bertubuh gembrot, buru-burulah mengikuti terapi di rumah kecantikan agar tubuh yang melar kembali seperti semula. Atau, perempuan agar terlihat selalu rapi, harus menggunakan shampo dan konditioner, merawat rambut dengan masker rambut, toning dsb.

Kondisi seperti ini tentu saja membuat perempuan tidak rasional. Perempuan berkulit sawo matang (bahkan berwarna sangat gelap), berusaha mendapatkan citra perempuan cantik. dengan menggunakan berbagai produk pemutih. Mereka tak segan mengeluarkan uang ratusan hingga jutaan rupiah hanya demi mendapatkan label cantik. Bahkan mereka tak peduli dengan risiko yang bisa mereka terima jika menggunakan produk yang tidak diketahui komposisinya. Bahkan, mereka rela “berkulit belang”, lebih terang di bagian wajah dan gelap di kulit tubuh. Apakah perempuan hitam, pendek dan gendut tidak cantik? Tentu tidak.

Benar kata Rhenald Kasali. Perempuan, baik remaja maupun dewasa adalah pasar yang potensial. Itu dikarenakan remaja perempuan cenderung senang jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dan perempuan dewasa “bertugas” mengambil keputusan terhadap apa yang harus dibeli untuk keperluan rumah tangganya, termasuk kebutuhan suami seperti pisau cukur atau deodoran.

Perempuan sesungguhnya tak memiliki kesempatan yang memadai untuk memilih. Mereka melahap apa saja yang diketahui. Bahkan, keinginan lebih mendominir ketimbang kebutuhan. Mereka dibentuk sedemikian rupa oleh media, menjadi perempuan masa kini dengan segala macam bentuk gaya hidup, yang didorong oleh kebutuhan pengiklan.

Sebenarnya bukan hanya media saja yang melanggengkan ketidakadilan gender dinegara kita. Tetapi hampir semua sistim yang ada di Negara ini melanggengkannya. Dimulai dari keluarga, lingkungan pendidikan, pemerintahan semuanya melakukan ketidakadilan gender.Selain itu pendidikan akan memperlambat waktu atau sedikit menunda kaum perempuan untuk menikah. Pendidikan juga akan meningkatkan efisiensi kontrasepsi perfempuan dan akan meningkatkan kontrol perempuan terhadap fertilitas.

Harus diakui bahwa keluarga merupakan unit terkecil masyarakat dan merupakan pengayom kehidupan dan mempunyai fungsi keagamaan, kebudayaan , perlindungan, pembinaan reproduksi, dan cinta kasih. Keluarga juga merupakan wadah pembentukan karakter, tingkah laku serta sikap yang perlu dimiliki oleh seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan dan keluarga yang juga mengajarkan dan menentukan peran gender antara anak laki-laki dan perempuan.

Keluarga berperan penting di dalam pembentukan watak dan pembagian peran yang tidak bias gender antara anak laki-laki dan perempuan serta pentingnya kedudukan dan peran yang sejajar antara suami dan isteri di dalam pengambilan keputusan.

Di bidang hukum masih dijumpai substansi, struktur, aparatur dan budaya hukum yang masih diskriminatif dan bias gender. Masalah hak asasi manusia yang menuntut perhatian khusus, masih maraknya kasus-kasus eksploitasi, pelecehan, tindak kekerasan baik seksual maupun fisikal terhadap perempuan di dalam rumah tangga, masyarakat, dan di tempat kerja, maraknya perdagangan perempuan dan anak di dalam maupun ke luar negeri.

Untungnya Undang-Undang No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah lahir, sehingga diharapkan masyarakat yang mendapatkan pelakuan kekerasan, khususnya dalam rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam terlindungi melalui UU tersebut.

Gender juga merupakan suatu proses politik dimana untuk mencapai suatu keadilan dan kesetaraan gender membutukan cara berpikir yang baru dengan melakukan dekonstruksi secara filosofis mengenai stereotip perempuan dan laki-laki serta perlunya penghargaan kepada semua manusia tanpa memandang jenis kelamin sosial atau gender.

Dengan demikian paradigma pembangunan manusia yang meletakkan manusia sebagai pusat perhatian harus sepenuhnya berwawasan gender. Setiap upaya tersebut paling tidak memerlukan tiga prinsip.

Pertama kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki harus diabadikan sebagai prinsip fundamental. Hambatan secara hukum, ekonomi, dan politik harus diidentifikasi dan dihapuskan melalui reformasi kebijakan yang menyeluruh dan affirmative action yang kuat.

Kedua, perempuan harus diakui sebagai agen dan pewaris perubahan. Investasi untuk memampukan dan memberdayakan perempuan untuk membuat pilihan-pilihan tidak hanya bermanfaat bagi perempuan itru sendiri, melainkan juga merupakan cara paling efektif untuk memberikan sumbangan nyata bagi pembangunan secara keseluruhan.

Ketiga, model pembangunan baru berperspektif gender meski bertujuan untuk memperluas pilihan-pilihan perempuan dan laki-laki tidak boleh menganggap perbedaan budaya dan masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat kodrat.

Akan tetapi saat ini sebagian besar ketidakadilan gender ini paling mudah kita kita liat di media massa. Media massa kita secara sadar dan tidak sadar mengekspos biasa gender secara luas tanpa memperhatikan efek pemberitaannya.

Media cendrung menggunakan periklanan sebagai bentuk arena contoh pemojokan posisi perempuan. Periklanan sendiri sering memunculkan kode-kode social sebagai fregmentasi realitas social, tanda-tanda ini tak jarang memojokan perempuan, menganut pola gender yang ada dalam masyarakat kita. Akan tetapi, apakah periklanan telah menjadi tempat pemojokan posisi perempuan? Ataukah para pembuat iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena social yang menyiratkan perempuan diposisikan pada posisi yang subordinate? Tentulah ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai manusia yang mempunyai norma, etika, serta prilaku social yang mempunyai cirri budaya ketimuran yang dapat menata serta mengatur konsep gender yang yang dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan di Indonesia.

B.Kerangka Teori

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui representasi kesetaraan gender (pria dan wanita). (2)mengetahui bias gender pada iklan dimedia massa (3) serta untuk mengetahui peran-peran dominan yang dikonstruksikan pada pria dan wanita dalam iklan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi dengan menggunakan pendekatan semiotic untuk menggambarkan interpretasi khalayak tentang iklan yang berkaitan dengan bias gender di media massa.

Semiotic sendiri berarti komunikasi sebagai pertukaran makna melalui tanda-tanda. Kekuatan semiotic bertupu pada kebutuhan akan gagasan yang sama, identifikasi akan subjektifitas yang menjadi kendala untuk mencapai pemahaman dan keterikatan dengan makna yang seragam. Istilah semiotic sendiri dapat pula diartikan sebagai tanda, yakni sesuatu atas dasr konvensi social yang dibangun sebelumnya dan dapat mewakili sesuatu yng lain. Tanda dapat dipakai sebagai prangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan didunia ini, ditengah manusia dan bersama manusia. Secara termonologis semiotik dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari deretan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dalam kajian media massa semiotic tidak hanya dikenal sebagai teori namun juga sekaligus sebagai metode analisis.

Unit analisisnya adalah sistim tanda berupa gambar, tulisan ataupun gambar yang bergerak pada iklan produk yang menggambarkan bias gender serta menggunakan pria dan wanita sebagai modelnya selama periode 27 juli -03 Agustus 2008 terpilih beberapa iklan dari berbagai media massa yang saya teliti yaitu : iklan rokok djarum super, iklan rokok gudang garam, jamu kuat kuku bima energi dan iklan hemaviton.

C. Pembahasan

Periklanan sebagai sebuah sistem komunikasi massa, kini cenderung menjadi parameter atau implementasi wacana gender yang menggugat adanya bias-bias ketidakadilan gender. Periklanan kini dengan agak sinis dikatakan sebagai sarana pelestari dominasi ideology patriarkhis.

Media massa mempunyai kekuatan dan peran besar dalam membangun realitas. Realitas merupakan hasil karya (konstruksi) media terhadap suatu peristiwa atau fakta. Hamad (2004) menyebutkan bahwa, setiap upaya menceritakan (konseptualitas) sebuah peristiwa , keadaan atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mongkonstruksi realitas. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi sehingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Realitas yang diciptakan media adalah realitas simbolik hasil produk atau rekayasa para pengelolah media
.
Masalahnya saat ini media massa telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Hal ini yang membuat terpaan informasi terjadi terus-menerus pada khalayak dan menjadikan media sebagai penuntun atau pedoman dalam berprilaku. McQuail (1989) menyebutkan media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengambangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma prilaku.

Media memiliki fungsi menkonstruksi realitas dan realitas ini dikonstruksi sesuai dengan latar belakang masing-masing individu para pengelolah media. Produk media yang dihasilkan akan sesuai dengan pemahaman masalah yang mereka beritakan. Misalnya tentang gender. Jika pemahaman mereka tentang gender sarat ketidakadilan maka yang diberitakan adalah bias gender. Disini ada titik temu antara pengelolah media, bias pemberitaan media tentang gender, dan kekuatan media mengkonstruksi realitas. Hasilnya adalah audiens akansemakin dikokohkan pemahamannya tentang nilai-nilai.

Armando (2000), menunjukan bagaimana media dapat mempengaruhi persepsi manusia tentang realitas atau dengan kata lain cara pandang manusia tentang dunia. Ii terjadi dalam jangka waktu tertentu secara konsisten, ia menyajikan isi media yang menyajikan isi yang konsisten. Salah satu yang secara konsisten disajikan oleh media adalah ideology patriarkhi yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya.

Patriarkhi adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan laki-laki yang lebih dominan dari perempuan (Mitchel, 1994). Ideologi ini melahirkan perbedaan gender dan ketidakadilan gender yang dikonstruksi secara social maupun cultural melalui proses panjang dan sering kali dianggap sebagai ketentuan Tuhan dan seolah-olah bersifat kodrati, tidak dapat diubah lagi, sehingga sifat-sifat yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan dianggap sebagai kodrat dan keharusan yang diperoleh sejak lahir.

Dari berbagai fenomena yang saya paparkan diatas saya ingin mencoba menelah lebih lanjut tentang bias-bias gender yang ada dalam masyarakat melalui media massa yang ada, khususnya bias-bias gender yang terjadi dalam periklanan baik pada media cetak maupun iklan yang ada dimedia audiovisual (televisi).

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, secara sadar atau tidak sadar, sengaja atupun tidak sengaja kita melihat iklan yang malakukan atau menunjukan diskriminasi gender. Media massa yang perkembangannya makin lama makin cepat menjadi kunci penting penanaman ideologi yang ada dalam masyarakat.

Produk media massa terutama yang berupa iklan mengepung kita dari berbagai penjuruh. Saluran yang paling enak dimanfaatkan adalah media masssa baik elektronik maupun media cetak. Iklan-iklan tersebut tidak hanya berusaha mempengaruhi pihak konsumen untuk menggunakan produk tersebut tetapi juga sarat akan bias gender.

Dalam penyampaian pesannya iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi social budaya masyarakat yang menjadi sasaran produk tersebut. Kondisi masyarakat yang slalu menganggap pria lebih tinggi status sosialnya dari perempuan mau tidak mau, suka tidak suka akan membuat pihak pembuat iklan harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat apabila ingin merebut simpati mereka terhadap produk yang ditawarkan.

Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni penerapan suatu bentuk komunikasi persuasi terhada produk dan jasa yang berkaitan dengan masalah pemasaran. Tujuan dasar dari kegiatan periklanan adalah mencakup kegiatan pemberian informasi tentang suatu produk dengan cara dan strategi agar pesan dapat diterima dan diingat serta adanya tindakan tertentu yang menarik perhatian konsumen yang dapat menggugah selerah, agar bertindak sesuai dengan keinginan komunikator. Komoditi iklan bukan hanya dalam bentuk penawaran tetapi juga disiapkan untuk menciptakan selera tertentu.

Kecendrungan yang muncul dalam periklanan yang dibuat tidak hanya mengiklankan suatu fungsi atau kegunaan ari suatu produk saja tetapi lebih pada kreatifitas untuk membewrikan nilai suatu produk.Menjual suatu produk tidak hanya untuk memenuhi suatu kebutuhan tetapi juga dapat dikembangkan untuk mendekatkan pada dorongan-dorongan lain, seperti nilai akan kejantanan, situasi akrab ataupun nilai-nilai kesegaran lainnya.

Dengan terbukanya penanaman sebuah citra pada suatu iklan tentu akan bersifat polisemik, karena terbukapeluang penafsiran dari konsumen lebih dari satu atau tidak sebatas menawarkan suatu kegunaan tanpa nuansa-nuansa yang lain yang memberi nilai tambah bagi dayatarik produk tersebut. Sistim polisemik mempunyai pengertian menawarkan lebih dari satu penawaran yang sah. Sifat komunikasi ini adalah wajar jika dikaitkan dengan tujuan periklanan, di mana bentuk komunikasinya berfungsi konatif, yakni bertujuan untuk membujuk komunikan mengambil tindakan tertentu, misalnya membeli produk atau memakai jasa layanan tertentu.

Hampir setiap iklan saat ini selalu mengaitkan watak ikon yang mempunyai citra dalam pengiklanannya.kecendrungan untuk membentuk image dan pertukaran nilai semakin memacu kreatifitas para pembuat iklan agar bagaimana nilai dari produk tersebut dapat menarik selera atau menciptakan kebutuhan akan suatu komoditi.Para desainer iklan akan membuat iklan suatu produk seperti terlihat natural, kesatuan tanda yang diambil dari symbol-simbol social, serta nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat. Dari upaya membentuk citra inilah yang kemudian ditafsirkan menyentuh bias-bias gender.

Contoh bias gender dalam iklan misalnya pada iklan rokok. Seperti kita ketahui dalam peraturan pemerintah tentang periklanan terutama tentang rokok, pemerintah melarang keras segala bentuk iklan rokok yang menunjukan hal-hal yang menampilkan bahwa merokok itu enak, menampilkan orang yang sedang merokok, pesan yang dismpaikan juga harus melalui batasa-batasan tersendiri. Efek negative dari rokok itu sendirilah yang membuat pemerintah kita sangat memperhatikan iklan produk yang satu ini. Perusahaan rokok pun sadar akn hal ini sehingga mereka berusaha untuk mensiasati agar iklannya lolos dari seleksi pemerintah dan dapat diterima oleh masyarakat kita.

Oleh karena itu para pembuat iklan akan membuat iklan semenarik mungkin tanpa melawan aturan yang dibuat pemerintah. Iklan yang dibuat pun sekreatif mungkin sehingga masyarakat akan terpesona bila melihatnya. Akan tetapi iklan yang menarik itu terasa menimbulkan bias gender yang sangat banyak tanpa kita sadari.

Lihat saya pada iklan Iklan Djarum Super off road di gambar kan sorang pria dengan mobil off road nya, dengan slogan ayo uji nyali mu taklukan rintangan mengambarkan sosok pria yang sangat kuat, dan mampu menghadapi segala rintangan. Pria dianggap sebagai penakluk alam liar dan pasti bisa menaklukan tantangan pada off road. Tidak ada sosok perempuan sama sekali pada iklan ini. Tidak ada nya sosok perempuan memberikan kesan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan yang sama dengan pria dalam menaklukan alam liar.Djarum Super dengan slogannya "Bukan Sembarang Pria" sama dengan Rokok gudang garam yang menunjukan bahwa pria adalah mahluk superior dan memiliki kedududukan yang lebih tinggi dari pada perempuan. Sosok bintang iklan yang macho (Shandy Shariff) dan sangat di idolakan oleh perempuan memberikan kesan bahwa dengan rokok tersebut si Pria akan mendapatkan perhatian dari para perempuan.

Dari berbagai contoh iklan diatas, kajian gender dalam tampilan iklan rokok dapat ditinjau lebih lanjut sebagai salah satu bentuk bias-bias gender yang dimunculkan secara semu maupun terselubung dalam rangka pemunculan presepsi bahwa pria adalah makhluk superior dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan.

Contoh lain dari iklan yang bias gender adalah kalau kita lihat iklan ditelevisi tentang minuman hemaviton atau jamu kuat lelaki misalnya, jelas fungsi produk tentu merupakan cairan atau zat yang dapat menambah energi pada tubuh agar stamina tidak menjadi cepat lelah. Tetapi betapa tidak, kreator iklan ini telah berimajinasi untuk menciptakan sebuah presepsi produk. Produk suplemen atau jamu untuk lelaki ini telah diiklankan dengan penayangan yang menyentuh bias gender.

Pengertian kuat, berenergi, serta kemantapan stamina tak jarang diartikan dengan kesiapan dalam urusan ranjang. Dari sinilah maka timbul manipulasi pemikiran, bahwa kekuatan stamina juga hendaknya mantap dalam pengertian sex. Selanjutnya munculah visualisasi figur perempuan sebagai obyek gender yang melengkapi nilai produk. Perempuan dalam jenis representasi seperti ini sering didudukkan dalam posisi yang subordinat, bahwa perempuan telah menjadi obyek akan pengertian ‘stamina’, stamina yang tidak lagi berkutat pada pekerjaan sehari hari tetapi juga pada fungsi reproduktifitas manusia.

Perubahan iklan kadang muncul dalam visualisasinya sebagai konsekuensiuntuk menjabarkan citra suatu komoditi agar dapat bersaing dengan produk kompetitor, dan juga sebagai ujung tombak daya tarik iklan. Pemahaman daya tarik (awareness) ini pun sering pula menjadi permasalahan para desainer iklan ketika membuat iklan sebuah komoditi yang mempunyai jumlah pesaing relatif banyak. Sehingga daya tarik serta citra telah menjadi fenomena yang tidak dapat terelakkan dalam merancang sebuah iklan.Kecenderungan yang kemudian tampak dalam visualisasi iklan adalah menempatkan obyek-obyek pilihan yang diakui sebagai ikon yang dapat diposisikan menempati urutan atas daya tarik visualisasi representasi iklan.

Perempuan sering menjadi alternatif pilihan sebagai obyek yang dapat menciptakan daya tarik serta merefleksikan citra. Bisa dilihat bahwa hanya untuk mengiklankan sebuah produk elektronik seperti televisi, perempuan pun di-casting dengan kostum yang agak sensual, atau bahkan ada representasi iklan televisi yang menampakkan perempuan dengan pakaian serba ketat serta dengan tarian yang erotik dimunculkan sebagai pendamping produk. Ada pula iklan permen yang diidentikkan dengan sebuah tarian tango, yang menampakkan perempuan dengan berbagai pose erotis.

Perempuan memang telah menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan. Perempuan telah menjadi sarana bagi daya tarik terhadap aktualisasi nilai produk. Sebuah produk yang pada kenyataannya mempunyai fungsi yang umum, telah dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke arah konsep gender. Femininitas seringkali menjadi ajang untuk membuat produk mempunyai nilai tertentu. ‘jantan’, ‘maskulin’, ‘eksklusif’, Pemberani telah menjadi idiom yang dimiliki oleh komoditi seperti rokok,suplemen, parfum, jamu/obat kuat lelaki, otomotif, dan lain sebagainya. Sedangkan sabun, shampoo, peralatan rumah tangga dan dapur sampai elektronik sering pula diartikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah femininitas.

Perempuan saat ini sudah dijerumuskan lewat iklan. Perempuan dalam iklan telah menjadi korban kapitalisme yang dibelakangnya mengandung budaya patriakal semata. Konsep kecantikan akhirnya didefiniskan dunia kapitalis, padahal kecantikan adalah sesuatu yang alami, anugrah unik yang diberikan Tuhan dalam tiap individu.

D. Kesimpulan

Sampai saat ini masih banyak tindakan maupun kegiatan yang menunjukan bias gender dalam kehidupan sehari-hari, baik dari berbagai saluran media dengan tujuan tertentu dari pihak tertentu maupun menanamkan berbagai macam ideology guna kepentingan pihak-pihak tertentu. Bias gender yang muncul dalam iklan di media massa merupakan salah satu bentuk penindasan maupun penjajahan akan peran wanita dalam kehidupan sehari-hari yang terpatri dalam berbagai aturan atau konsep yang ada, disamping untuk menunjukan superioritas kaum laki-laki dimata wanita.Kesetaraan pria dan wanita yang direpresentasi pada iklan-iklan diatas, dipahami atas dasar antara pria dan wanita mempunyai kesamaan hak serta ciri dan sifat yang menurut konsep gender hanya melekat pada pria dan wanita, sebenarnya dapat dipertukarkan, karena sifat dan ciri itu bukan merupakan kodrat tetapi hasil konstruksi social. Mengubah bias gender dalam pendidikan dan masyarakat sehingga lebih berkeadilan gender sangatlah susah. Perasaan susah ini hanya dapat menjadi ringan kalau ditanggalkan perasaan superioritas kaum laki-laki dan anggapan perempuan akan disubordinasi pria.

Penulis : Frederikus Fandriano Sardima
NIM : 153060184
Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Social dan Politik, Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta 2008

Sumber – sumber :
Desi Budiyanti – JMP, Moderator: Aty Suandi – JMP
Abdulah, Irwan. Sex, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Tarawang, Yogyakarta. 2001
Suwando S.H, Nani.Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. 1981.
Amir .P. Yasraf. Wanita dan Media. Bandung : PT Remaja Roskarya, 1998
www.kompas.com (jumat, 8 September 2000)